Suaragong.com – Pada akhir tahun 1947, Malang, kota yang dulunya dikenal sebagai “Kota Bunga,” mengalami kehancuran yang menyayat hati. Selama dua hari berturut-turut, pasukan Angkatan Darat dan brigade Marinir melakukan upaya pembersihan di bentang jalan terakhir antara Surabaya dan Malang. Misi ini, yang diharapkan dapat memulihkan ketertiban di kota keempat terbesar di Jawa, ternyata hanya menghasilkan kesan suram. Kota ini, yang dulunya merupakan pusat kehidupan Eropa, kini hanyalah puing-puing.
Menarik untuk dicatat, kerusakan yang terjadi hampir seluruhnya tidak bersifat strategis militer, melainkan merupakan upaya untuk menghancurkan dan merampok segala sesuatu yang berkaitan dengan Eropa. Meski titik-titik strategis masih utuh, Malang, dalam hal apapun yang berkaitan dengan warisan Eropa-nya, telah menjadi reruntuhan.
Kehancuran Kota Malang : Periode Tanpa Pemerintah
Bayaran Mahal Untuk Itu
Malang memang membayar harga yang sangat mahal untuk ketidakaktifan setahun sebelumnya. Jika intervensi dilakukan lebih awal, mungkin nasib kota ini bisa lebih baik. Kota ini bisa disebut sebagai “Rotterdam-nya India” dalam hal kehancuran yang dialaminya. Ketidakmampuan untuk menanggulangi situasi di kota ini mengakibatkan dampak yang sangat merugikan.
Pendudukan Malang
Pendudukan Malang telah lama menjadi perbincangan hangat. Awalnya direncanakan pada musim panas 1946, brigade Marinir dengan sumber daya modern diharapkan dapat melakukan operasi di sekitar Surabaya. Namun, rencana tersebut ternyata tidak terlaksana dan hanya menjadi berita “angin lalu”. Diskusi mengenai pendudukan Malang muncul kembali pada bulan Januari 1947, saat jalan dari Surabaya ke selatan diperpanjang hingga ke Porong. Meski demikian, pada bulan Maret, ketika daerah Mojokerto diduduki, koresponden Amerika yang menyaksikan tidak percaya bahwa Marinir belum mengambil tindakan di Malang.
Malang pada akhirnya menjadi contoh yang tragis dari bagaimana perencanaan dan pelaksanaan operasional militer yang tidak konsisten dapat menghasilkan dampak yang sangat destruktif bagi sebuah kota. Kota ini, yang dulunya merupakan pusat vital, kini menjadi simbol kehancuran akibat ketidaktepatan strategi dan penundaan intervensi. (Ind//aye)