SUARAGONG.COM – Suah Lokasi di kota apel, Kota Batu. Terkenal juga sebagai surga wisata dengan panorama menawan dan berbagai objek wisata menarik. Namun, di balik pesona ini, ada sudut kota yang menyimpan cerita hitam: Songgoriti dan Gang Macan. Terkenal dengan destinasi pemandian air panasnya, Songgoriti juga memiliki reputasi yang kurang menggembirakan. Terutama di Gang Macan, yang menjadi ikon dari kontroversi ini.
Mari kita gali lebih dalam tentang apa yang membuat Songgoriti, khususnya Gang Macan, terkenal tidak hanya karena keindahannya, tetapi juga karena stereotip negatif yang kerap menyertainya.
Gang Macan Songgoriti : Tempat yang Terlalu Banyak Rahasia
Gang Macan, sebuah nama yang sering kali disertai dengan gelengan kepala penuh arti, bukan hanya sekedar gang biasa. Di sinilah praktik prostitusi sering kali dilaporkan terjadi, menjadikan nama Gang Macan melekat dengan stigma negatif. Berbagai vila di daerah ini, dengan tarif sewa yang terjangkau, sering menjadi tempat berkumpulnya pasangan yang mencari sensasi atau sekadar menghabiskan malam. Dengan harga short-time yang bisa dimulai dari bawah Rp100 ribu dan long-time antara Rp100 ribu hingga Rp150 ribu. Lokasi Gang Macan ini menawarkan “kemudahan” yang sering kali disalahartikan sebagai bagian dari budaya lokal.
Selama bertahun-tahun, polisi secara rutin menggelar razia di sini. Hasilnya? Banyak kasus prostitusi yang terungkap, menambah daftar panjang alasan mengapa Songgoriti, terutama Gang Macan, mendapatkan cap negatif. Meski begitu, bukan berarti semua yang terjadi di Gang Macan adalah prostitusi. Faktanya, vila-vila ini juga digunakan untuk keperluan lain, meski sering kali stigma ini lebih mendominasi.
Dilema Warga : Antara Penghasilan dan Citra Buruk
Bagi sebagian warga, stigma ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, penyewaan vila memberikan mereka penghasilan yang sangat dibutuhkan. Di sisi lain, citra buruk yang melekat pada wilayah ini sering kali membuat mereka merasa tertekan. Mereka mungkin lelah dengan label yang tak kunjung hilang dan berharap ada perubahan yang lebih positif.
Sementara itu, pengunjung yang datang ke Songgoriti mungkin hanya tertarik dengan keindahan wisata tanpa menyadari latar belakang yang menyertainya. Penurunan jumlah wisatawan dan ketidakpastian ekonomi akibat pandemi juga membuat beberapa pengelola vila lebih “terbuka” dalam menerima pengunjung. Terlepas entah apa itu tujuan mereka.
Menghadapi Stigma: Upaya Perubahan yang Masih Bergulir
Sadar akan dampak negatif dari stereotip ini, berbagai inisiatif telah muncul untuk memperbaiki citra Songgoriti. Misalnya, serial dokumenter “Lingkungan Songgoriti” yang diproduksi oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya bertujuan untuk menunjukkan sisi lain dari kehidupan di Songgoriti. Dokumenter ini tidak hanya menggali sejarah dan budaya lokal, tetapi juga mengupas dinamika sosial yang sering kali terabaikan oleh media mainstream.
Dalam diskusi pasca-penayangan, tokoh masyarakat dan akademisi menggarisbawahi pentingnya keterlibatan pemerintah dan dukungan komunitas dalam menciptakan branding yang lebih positif untuk Songgoriti. Mereka mengusulkan pembuatan festival budaya dan peningkatan aktivitas sosial sebagai strategi untuk mengubah persepsi publik.
Akhir Kata
Songgoriti dan Gang Macan memang menjadi cermin kompleksitas yang sering kali terjadi ketika industri pariwisata bertemu dengan realitas sosial. Stereotip negatif yang menempel di Gang Macan adalah hasil dari campur tangan berbagai faktor, dari praktik prostitusi hingga pengelolaan yang kurang optimal. Namun, dengan upaya-upaya yang sedang dilakukan, ada harapan bahwa citra Songgoriti bisa diperbaiki, dan stigma ini bisa dihapuskan seiring berjalannya waktu. Untuk itu, kolaborasi antara warga, pemerintah, dan semua pihak terkait menjadi kunci utama dalam memulihkan reputasi Songgoriti dan menjadikannya kembali sebagai destinasi wisata yang dipenuhi dengan kebanggaan, bukan hanya kontroversi. (Ind/Sg).