MALANG, SUARAGONG.COM – Desember tahun 2024 menjadi momen yang penuh harapan dan ketidakpuasan bagi keluarga korban tragedi Kanjuruhan. Sebuah keputusan yang diajukan untuk mengabulkan permohonan restitusi bagi para korban Kanjuruhan akhirnya dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Namun hasilnya jauh dari harapan banyak pihak. Pengadilan hanya memberikan restitusi sebesar Rp1,07 miliar dengan rincian yang cukup mengejutkan: Rp15 juta untuk 63 korban yang meninggal dunia dan Rp10 juta untuk 8 korban yang mengalami luka-luka.
Restitusi Korban Kanjuruhan Jauh dari Kata Impas
Keluarga korban beserta pendamping yang kemudian diwakili oleh Lembaga Perlindungan dan Saksi Korban (LPSK) merasa bahwa keputusan ini tidak mencerminkan rasa keadilan yang seharusnya mereka terima. Mereka sebelumnya telah mengajukan permohonan agar restitusi yang diberikan setidaknya dicantumkan dalam tuntutan jaksa penuntut umum. Permohonan tersebut menggulirkan kembali harapan mereka untuk memperoleh kompensasi yang lebih sesuai dengan kerugian yang telah mereka derita.
Pada awalnya, permohonan restitusi korban kanjuruhan ini diajukan pada Selasa (3/10/2023), lebih dari sebulan setelah putusan inkrah vonis kasasi terhadap lima terdakwa. Namun, respons dari Pengadilan Negeri Surabaya baru diterima pada Kamis (21/11/2024), tepat satu tahun setelah permohonan diajukan. Keputusan ini tentunya memunculkan berbagai pertanyaan dan kekecewaan di kalangan keluarga korban dan pendamping mereka.
Para hakim dalam pertimbangan mereka menyatakan bahwa selama ini para korban telah menerima santunan dan donasi dari berbagai pihak. Seperti Kepolisian Malang, Arema FC, dan Pemkab Malang. Santunan tersebut sebagian besar berupa bantuan berupa gerobak untuk usaha UMKM, dengan tujuan membantu korban yang kehilangan mata pencaharian akibat tragedi tersebut.
Namun, seorang perempuan yang menjadi salah satu pendamping korban mengungkapkan bahwa tidak semua korban menerima santunan ini. Dari total 754 korban, hanya 683 korban yang memilih jalur kesejahteraan dengan menerima bantuan. Sementara 71 korban lainnya memilih jalur hukum dengan memperjuangkan keadilan.
Baca Juga :Polres Malang Berikan Bantuan untuk Keluarga Korban Kanjuruhan
Keputusan Yang Hanya Memukul Rata
Mereka yang memilih jalur hukum merasa bahwa keputusan tersebut, yang dianggap hanya “memukul rata” jumlah restitusi tanpa memperhatikan kondisi masing-masing korban, merupakan bentuk ketidakadilan.
“Biasanya santunan yang diberikan itu berupa gerobak untuk usaha UMKM,” ungkap seorang perempuan berusia 41 tahun yang mewakili keluarga korban.
Pernyataan ini mengungkapkan ketidakpuasan yang mendalam, karena bantuan yang diberikan tidak cukup untuk mengobati luka batin dan dampak jangka panjang yang dialami oleh para korban.
Restitusi yang diberikan pun jauh dari apa yang mereka harapkan. Sebelum keputusan ini, keluarga korban telah menggugat restitusi dengan jumlah yang lebih besar, yaitu sekitar Rp17,5 miliar. Dengan rincian, korban yang meninggal dunia diminta menerima kompensasi antara Rp250 juta hingga Rp500 juta. Sementara untuk korban yang mengalami luka-luka diharapkan menerima restitusi antara Rp25 juta hingga Rp75 juta.
Namun, kenyataannya, keputusan pengadilan justru sangat berbeda. Keputusan yang diberikan hanya sebagian kecil dari jumlah yang mereka harapkan. Hal ini menciptakan kekecewaan yang mendalam, terutama bagi keluarga yang merasa kehilangan orang terdekat mereka dalam tragedi yang menggemparkan dunia olahraga ini.
Duka Mendalam dan Abadi Untuk Tragedi Kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan, yang terjadi pada Oktober 2022, meninggalkan duka yang mendalam bagi ribuan keluarga. Insiden ini terjadi saat pertandingan sepak bola antara Arema FC dan Persebaya Surabaya, yang berakhir dengan bentrokan antara suporter dan aparat kepolisian. Kejadian tersebut mengakibatkan lebih dari 130 orang meninggal dunia dan ratusan lainnya mengalami luka-luka. Sebagai salah satu tragedi terburuk dalam sejarah sepak bola Indonesia, tragedi ini memicu sorotan besar dari masyarakat dan organisasi internasional.
Keluarga korban tentu merasa bahwa nilai keadilan tidak tercermin dalam keputusan tersebut. Bagi mereka, angka yang tertera dalam restitusi tidak sebanding dengan penderitaan yang harus mereka hadapi. Baik itu dalam bentuk kehilangan anggota keluarga maupun dampak psikologis yang ditanggung seumur hidup. Meskipun bantuan yang diterima bisa membantu sebagian korban untuk melanjutkan kehidupan, namun tidak ada yang bisa menggantikan kehilangan yang mereka rasakan.
Selain itu, pendamping hukum dan LPSK juga mengungkapkan bahwa meskipun beberapa korban menerima bantuan yang diberikan oleh pihak terkait, proses hukum dan tuntutan keadilan sejatinya harus tetap berjalan. Mereka menekankan bahwa santunan dan bantuan sosial yang diberikan oleh pihak lain seharusnya tidak menjadi alasan untuk mengurangi tanggung jawab negara dan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut.
Baca Juga :Gaes !!! Peringati Dua Tahun Tragedi Kanjuruhan, Massa Datangi DPRD Bawa 10 Tuntutan
Harapan Baru: Tragedi Kanjuruhan Jadi Titik balik sebuah Sistem yang Lebih Baik
Seiring berjalannya waktu, masyarakat berharap bahwa tragedi Kanjuruhan akan menjadi titik balik dalam memperbaiki sistem pengelolaan dan pengawasan acara olahraga di Indonesia. Kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk menjaga keselamatan dan keamanan penonton. Serta memastikan bahwa korban yang terlibat dalam insiden seperti ini mendapatkan keadilan yang layak.
Keluarga korban Kanjuruhan, bersama dengan LPSK dan pendamping hukum lainnya, terus memperjuangkan hak-hak mereka untuk mendapatkan kompensasi yang lebih adil. Mereka berharap bahwa meskipun keputusan restitusi pada Desember 2024 ini mengecewakan. Perjuangan mereka untuk mendapatkan keadilan yang lebih besar akan terus berlanjut. (Ind/aye)
Baca Juga Artikel Berita Terupdate Lainnya dari Suaragong di Google News